Ayo Wakaf

Pada tahun kedua Hijriah, saat situasi mulai mapan dan tenang di Madinah, muncul turunan-turunan ibadah disusulkan setelah perintah salat. Salat diwajibkan, disyariatkan setahun sebelum hijrah ke Madinah. Sampai di Madinah, mulai membentuk stabilisasi. Nabi Muhammad Saw saat itu mulai membangun masjid.

Setelah terjadi persaudaraan, mulai stabil keadaan, maka terjadilah hal-hal yang luar biasa. Datang perintah-perintah untuk memaksimalkan surga bisa diraih dengan cepat. Turun perintah puasa di hari Senin, 2 Syakban 2 Hijriah.

Di tahun 2 Hijriah pula, tiba-tiba Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Saya ingin serahkan tujuh pohon kurma saya, dan saya cukupkan pohonnya tidak diganggu, tapi buahnya bisa digunakan untuk apa pun. Saya diamkan fungsi pohonnya, dan silakan gunakan fungsi buahnya.”
Didiamkan disebut dengan wakof, sifatnya disebut wakaf. Fungsinya ditebarkan untuk mendapatkan fungsi yang lebih baik lagi. Setelah itu, tiba-tiba datang Umar bin Khattab, datang berkonsultasi karena dia merasa mendapat titipsn harta dari Allah Swt. Rasulullah pun kemudian menyarankan umar untuk berwakaf.

“Ya Rasulullah, ada titipan Allah kepada saya dalam bentuk sekian, seperti apa yang terbaik yang harus saya gunakan?” Kata Nabi, “Umar, kalau engkau berkehendak, bisa engkau lakukan seperti ini. Cukupkan itu hartanya tidak dikemana-manakan. Matikan fungsinya, dan teruskan pembiayaan investasinya dari situ untuk nilai-nilai kebaikan. Kalau tanah, misalnya ingin dijadikan sebagai kebun kurma, tanahnya cukupkan sebagai kebun kurma saja. Jangan diperjualbelikan. Jangan engkau nikmati bagian untuk kehidupanmu. Cukupkan hasil yang ada di tanah itu, gunakan sebagai pahalamu. Setiap ada yang makan kurma, kamu dapat bagiannya. Setiap ada yang ambil kurma, engkau dapatkan bagian pahalanya.”

Maka diwakafkanlah saat itu oleh Umat bin Khattab. Begitu ketahuan apa yang dilakukan Umar bin Khattab, yang lainnya berebut, tergerak untuk ikut berwakaf. Ada Muadz, Thalhah, bahkan Ali bin Abi Thalib ra yang terkenal dalam sejarah hartanya begitu pas. Pas saat dibutuhkan, tidak sebanyak yang lainnya. Tapi hebatnya, cara berpikir para sahabat saat itu, jika ada yang melakukan kebaikan, maka mereka pun harus melakukan kebaikan yang sama dengan dia, sekalipun dalam porsi sesuai yang dimiliki.

Ketika Umar berwakaf, maka Muadz pun mewakafkan rumahnya, sehingga rumahnya terkenal dengan Darul Anshar. Setelah itu, Ali bin Abi Thalib dan Thalhah pun kemudian berwakaf dengan apa yang mereka miliki.

Hal itu dijelaskan ulama kondang, Ustaz Adi Hidayat, sebagaimana ditayangkan di channel Youtube Taman Firdaus, 17 April 2018.

Ustaz Adi Hidayat menerangkan, jejak wakaf, jejakanya bukan sekadar batu utama yang ditandatangani kekinian. Sejak kali pertama terjadi pada tahun kedua Hijriah, sudah banyak orang yang memburu pahala wakaf. Bukan nomimal yang dihitungnya, bukan benda yang dilihat, tapi dianggap sebagai tiket surga.

Ketua Badan wakaf Indonesia, Ustaz Hendri Tanjung, menjelaskan secara bahasa, wakaf itu artinya berhenti. Maksudnya berhenti dari kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan Allah. Artinya apabila kita mewakafkan suatu barang atau benda atau harta, maka benda atau barang itu menjadi milik Allah. Bukan lagi atas nama milik seseorang. Kalau secara istilah, wakaf adalah menahan pokok harta kemudian mengembangkan harta itu dan menyedekahkan hasilnya. Harta ditahan, kemudian dikelola, dikembangkan, lalu hasilnya disedekahkan. Wakaf termasuk ibadah sunah yang sangat ditekankan.

Orang yang berhak untuk berwakaf, terangnya, adalah orang yang beriman, memiliki kelebihan harta dan kemudian (hartanya) diwakafkan. Syarat orang yang berwakaf dia harus balig, berakal dan tidak gila, tidak dipaksa atau tidak ada paksaan, merdeka atau bukan budak.

Pengalaman berwakaf diceritakan oleh H. Drs. Romdloni R. Sidik Warsito. Warga Sumber, Solo, ini telah mewakafkan sebidang tanah dan juga bangunan melalui SOLOPEDULI.

Bagi Romdloni, keputusannya berwakaf didorong oleh kenyataan bahwa kehidupannya saat ini sudah cukup baik. Allah memberikan rezeki yang melimpah kepada dirinya beserta keluarga. “Alhamdulillah anak-anak saya sudah berhasil, setidaknya mereka sudah punya rumah sendiri-sendiri. Saya pun masih punya rezeki yang cukup,” ujarnya.

Di samping itu, kondisi fisik yang semakin renta karena bertambahnya usia, juga turut mendorong suami Hj. Endang Sri Hermanti, S.Pd. ini. Tahun ini, tepatnya pada 16 Juni 2020 nanti, usianya sudah memasuki 77 tahun. Ia berpikiran kalau manusia hanya mengandalkan amalan, tanpa adanya rida dari Allah, maka akan sulit masuk surga.

“Sehingga, doa kita kan selalu begini, Allahumma inni as-aluka ridloka wal jannah, wa na’udzubika min sakhothika wannaar (Ya Allah sesungguhnya kami memohon rida dan surga-Mu, dan kami mohon perlindungan-Mu dari murka dan neraka-Mu).”

Menurut Romdloni, saat usia sudah senja, hal penting yang harus dipersiapkan adalah bekal yang akan dibawa kelak saat di akhirat. “Saya berpikir begini, masalah harta, insya Allah anak-anak sudah saya tinggali. Lalu, yang akan saya bawa kalau ‘pergi’ apa?” ungkapnya.

Dari situlah ayah dua orang putra ini mantap untuk berwakaf. Ia memilih wakaf karena paham betul bahwa wakaf memiliki pahala yang terus mengalir sampai hari kiamat kelak. “Wakaf itu pahalanya abadi, selamanya. Selama yang kita wakafkan itu masih dikelola dengan baik, untuk kepentingan umat, kita akan senantiasa mendapat pahalanya,” terang Romdloni.

Hal inilah yang selanjutnya membuat pensiunan guru agama Islam tersebut memilih SOLOPEDULI sebagai lembaga tempatnya menyalurkan wakaf. “Saya memilih SOLOPEDULI yang saya anggap akan mampu mengelola apa yang saya wakafkan,” kisah Romdloni.
Kakek dari tiga cucu ini selanjutnya meyakinkan keluarganya ketika hendak berwakaf.

Bersyukur, seluruh anggota keluarga menyetujui dan memberikan dukungan penuh. “Sewaktu mengajar agama di sekolah, saya mengajar soal warisan. Dalam Islam, pembagian warisan sudah diatur dengan jelas,” tutur Romdloni.

Ia juga telah menyusun pembagian warisan kepada istri dan anak-anaknya kelak jika suatu saat nanti meninggal dunia. Hingga saat niat berwakaf muncul, Romdloni menghubungi semua anggota keluarganya. Ia memberi tahu kalau punya keinginan untuk berwakaf, sekaligus menjelaskan bahwa hal tersebut kelak bisa menjadi celengan di ‘masa depan’. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga seluruh anggota keluarga. “Saya bilang begini, termasuk koe karo anak-anakmu kabeh mengko tetep iseh oleh ganjaran, arepo aku wes ora ono (termasuk kalian dan anak-anakmu semua kelak tetap akan mendapat pahala meskipun saya sudah tidak ada),” jelas Romdloni.

Lalu ia bertanya lagi, “Apakah ada yang punya pendapat lain?” Saat itu, seluruh anggota keluarga menyetujui.

Namun demikian, bukan berarti Romdloni tak pernah merasa berat untuk melepas hartanya untuk wakaf. Ia harus berusaha keras agar senantiasa bisa istikamah dalam keikhlasan. “Selama ini, saya selalu berusaha untuk ikhlas, tetapi tetap saja kadang-kadang ada gangguan yang seolah membuat saya merasa tidak ikhlas. Saya merasa diikuti bagaimana supaya tidak ikhlas,” aku Romdloni.

Ia kini mengurangi aktivitas-aktivitas keduniaan yang tidak bermanfaat. Jika tak ada acara, setelah Salat Isya Romdloni memutuskan untuk langsung tidur. Kemudian, pada malam hari sekitar satu jam sebelum waktu Subuh, ia akan bangun dan melaksanakan Salat Tahajud dan memohon kepada Allah supaya gangguan-gangguan yang membuatnya merasa tidak ikhlas dapat segera dihilangkan.

Sumber: Majalah Hadila Edisi April 2020

© 2024 SOLUSIWAKAF.COM